It Is True That Joe Biden Did Not Win The Election

It is often difficult to accept that belief is not a rational construct. Rather it is a social construct. Joe Biden did not win the election because any elected Republican member of congress or the…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




107. Campfire

Kelana melambaikan tangannya ke Arlina, teman sekelasnya. Ia baru saja berpisah dengan Bintang, Si Bodoh yang juga mengira kalau mereka sudah tidak ada jadwal lagi sepulang dari air terjun. Bersama Kelana, keduanya menjadi Si Bodoh Kuadrat. Belum sempat Kelana menduduki tempat kosong di samping Arlina, Langit sudah lebih dulu merebut tempat itu. Menyebalkan, seperti biasa.

“Gue belum foto,” lapor Kelana setelah ia duduk di samping Langit. Ia sedang membahas sesi foto sekelas yang beberapa menit lalu dibahas Langit melalui pesan singkat.

“Gue juga belum. Mau foto sama gue? Sini hape lo,” ucap Langit sambil menengadahkan satu tangannya. Kelana memicingkan mata. Bukannya tadi Langit bilang mereka sudah foto sekelas? Dasar penipu! Sudah habis kata baginya untuk membalas teman sekelasnya yang satu ini.

“Ya udah, pake hape gue aja.”

CEKRIK.

“Ih, jelek deh lo, bengong begitu,” kata Langit sambil melihat foto yang baru saja ia tangkap. Di dalam foto itu ada Langit dengan cengiran tengilnya dan Kelana yang melongo karena tidak siap tertangkap kamera.

“Hapus, nggak?” kata Kelana dengan alis yang bertaut.

“Nggak.”

“Hapus!”

“Nggak.”

“Gue pelintir lagi ya pinggang lo?” Kelana mengeluarkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk capit. Kali ini ia menambahkan jari tengahnya. Capit tiga jari. Langit bergidik melihatnya. Tiba-tiba badannya merinding mengingat cubitan pinggang yang diterimanya kemarin.

“Besok, deh. Besok gue hapus.” Mendengar itu, Kelana menyerah. Lebih baik dihapus besok daripada tidak sama sekali.

Api unggun di depannya semakin berkobar, mengiringi malam terakhir warga SMA Tugu di desa ini. Beberapa anak terlihat sedang membakar jagung. Beberapa anak lainnya ada yang sedang menancapkan marshmallow di sebuah tusukan besi, siap untuk melelehkan bantal gula-gula itu. Beberapa orang lainnya sedang memetik gitar sambil diiringi nyanyian-nyanyian sumbang orang-orang di sekitarnya.

Kelana mengintip Langit yang juga kelihatan sibuk. Ngapain sih?

“Aduh, panas, panas.” Gumaman Langit barusan membuat Kelana menoleh. Dilihatnya kepulan asap keluar dari buntalan aluminium foil yang barusan dibuka Langit sambil berjengit-jengit. Dari dalamnya menyembul sesuatu berwarna kuning.

“Hm … enak! Pengen kan lo?” tanya Langit pada Kelana yang beberapa kali ketahuan mengintip laki-laki itu. Di tangan Langit sudah ada ubi manis yang baru saja ia gigit. Dasar tukang pamer! Kapan dia manggang tuh ubi coba?

“Nih, gue kupasin biar lo nggak ngiler. Sekarang, cobain.” Langit menyodorkan sebuah ubi manis yang barusan ia kupas dan tiup.

Manis.

Ubi itu terasa manis. Manisnya seperti malam ini.

Mendadak hati Kelana meleleh. Baru kemarin ia sampai di desa ini. Baru kemarin ia berkenalan dengan keluarga inangnya yang super baik hati. Ibu inangnya itu janda beranak tiga. Namanya Bu Parni. Ketiga anaknya itu sudah lulus kuliah. Dan semua biaya pendidikan anaknya ia dapat dari hasil berjualan cabai di pasar. Sawah warisan suaminya yang tak seberapa besar, ia kelola bersama petani lokal pilihannya. Menurut Kelana, Bu Parni adalah contoh wanita berdikari. Hebat, sesuai dengan kemampuannya sendiri.

Pidato dari kepala desa membuyarkan pikiran Kelana. Segera dilahapnya suapan terakhir ubi manis pemberian Langit, kemudian matanya menangkap segelas air mineral kemasan ada di depannya.

“Tadi gue mungut di jalan,” ucap Langit begitu Kelana menyadari keberadaan air mineral itu.

“Makasih, Pak Pemulung,” balas Kelana sambil terkekeh kecil.

***

Acara api unggun tadi berlangsung lancar. Tak ada hujan, meski langit mendung. Tak ada kejadian microphone berdenging menyebalkan seperti saat apel kemarin. Yang paling penting, tak ada acara kesurupan masal seperti yang terjadi di sekolah lain.

Saat ini Kelana sedang berbaris sesuai dengan kelasnya. Lapangan yang ditempati untuk acara api unggun itu dikelilingi oleh parit yang cukup besar. Jika langit sedang terang, ia hanya perlu melompat. Saat malam juga perlu melompati paritnya sih, tapi karena gelap, ia butuh bantuan. Dan seperti itulah akhirnya beberapa senior laki-laki mengajukan diri untuk membantu teman-teman dan adik-adik kelas untuk menyeberangi si parit. Mereka mengulurkan tangan agar para teman dan para adik kelas bisa lebih mudah melompatinya.

Saat akan tiba giliran Kelana melompat, ia mendadak keluar barisan dan mundur ke belakang. Gadis itu pindah ke dua barisan di sebelah kanannya bukan tanpa alasan. Ada Jay yang membantu di barisan itu! Dengan begitu, modus operandi Kelana untuk mencari perhatian Jay dimulai.

Bagus! Sedikit lagi ia bisa menggenggam tangan Jay — untuk melompati parit.

Dan tibalah gilirannya. Kelana meraih tangan Jay, kakak kelas incarannya. Namun, bukan Kelana namanya jika ia tak ceroboh. Harusnya ia memindahkan fokusnya ke kakinya, tapi perhatiannya hanya tertuju pada wajah bersinar Jay yang diterpa cahaya bulan yang malu-malu.

SRUK! GEDEBUK!

Kelana bisa merasakan wajahnya mencium rumput-rumput kering. Keningnya perih. Dengan tertatih, ia membalikkan badan. Kini Kelana menatap bulan itu. Awan menyingsing, menyisakan bulan yang tak lagi malu-malu, namun menertawakannya.

“Lo nggak papa?” tanya seseorang dari atas sana. Kelana tak bisa mengenali orang itu. Backlight! Yang jelas orang itu bukan Jay. Jayadi sialan!

“Tolong! Ada yang nyungsep!” teriak beberapa orang perempuan.

Tangan Kelana meraba-raba sekitar. Satu hal yang akhirnya ia sadari. Sekarang ia berada di dalam kubangan parit. Dan hanya ada satu nama yang ia ingat sekarang.

“BINTAAAAANGG!!!!”

“TOLONGIN GU — ”

Sedetik kemudian sebuah uluran tangan menarik tangan Kelana. Badannya seperti dikatrol, melayang, kemudian terduduk. Secara ajaib dan entah bagaimana, ia sudah ada di pinggiran parit. Kejadiannya sangat cepat. Kepalanya yang baru saja terbentur sepertinya membuat pikirannya bekerja lebih lambat dari biasanya.

“Na? Lo bisa jalan?” tanya laki-laki di depan Kelana. Gadis itu menatapnya lekat. Bintang lagi, Bintang lagi. Tadi dia memanggil Bintang sih, tapi kan nggak harus beneran muncul juga?

Kelana meringis ketika hendak berdiri. Ia mencoba sekali lagi. Ah, tapi sepertinya kakinya terkilir. Apa boleh buat? Kelana terduduk lagi.

“Naik, Na. Kita ke posko.”

Bintang melesat menuju posko kesehatan dengan Kelana di punggungnya. Ia tak memedulikan banyak pasang mata yang mengawasinya.

“Tang,” panggil Kelana.

“Udah gue bilang kan buat ati-ati. Lo tuh gampang oleng. Ketiup angin aja lo bisa ilang. Coba kalo gue nggak ada di situ. Siapa yang mau bawa lo ke posko? Lagian gimana ceritanya lo nyungsep sih? Ada-ada aja!”

Kelana tak menjawab. Ia mengeratkan tangannya di leher Bintang. Sekali lagi, Bintang hadir. Padahal langit sedang mendung, bulan pun cuma menyapa sebentar, tapi Bintang muncul. Terang sekali. Sampai-sampai Kelana mulai takut kehilangannya.

Add a comment

Related posts:

Medical Device Startup Inito selected for Y Combinator Winter 19 Cohort

Bangalore based medical technology startup, Inito, has been selected by Y Combinator in its Winter 2019 Cohort. The startup has produced a small device that enables smartphones to perform lab-grade…

SCOTUS and Legitimacy

It does not mean that the President Biden and many Americans do not agree with the rulings that the SCOTUS’s legitimacy is at risk or in crisis. In his textbook Key Concepts in Politics and…

I will skyrocket your amazon kindle book sales with effective ebook marketing and KDP

Are you an aspiring author or a self-published writer looking to increase your Amazon Kindle book sales? Look no further! With my expertise in eBook marketing and KDP eBook sales funnels, I will help…